Etnografika

koleksi

Nosaviraka

Sebelum agama masuk ke wilayah Sulawesi Tengah, penduduknya masih menganut kepercayaan animisme. Kepercayaan yang menganggap segala sesuatu mengandung kekuatan gaib. Suku Kaili percaya kepada dewa karampua rilangi (penguasa langit) dan karampua nu tana (penguasa tanah). Percaya pada Tomanuru yaitu orang-orang yang sakti yang menjelma dari kayangan sebagai titisan dewa dan kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus. Upacara Nosaviraka (menaikan bayi ke buaian), merupakan suatu kepercayaaan suku Kaili untuk melaksanakan upacara adat pada bayi yang berusia 3-4 hari yang dinaikan kedalam buaian (dianggap rumah bayi).Sebelum agama masuk ke wilayah Sulawesi Tengah, penduduknya masih menganut kepercayaan animisme. Kepercayaan yang menganggap segala sesuatu mengandung kekuatan gaib. Suku Kaili percaya kepada dewa karampua rilangi (penguasa langit) dan karampua nu tana (penguasa tanah). Percaya pada Tomanuru yaitu orang-orang yang sakti yang menjelma dari kayangan sebagai titisan dewa dan kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus. Upacara Nosaviraka (menaikan bayi ke buaian), merupakan suatu kepercayaaan suku Kaili untuk melaksanakan upacara adat pada bayi yang berusia 3-4 hari yang dinaikan kedalam buaian (dianggap rumah bayi).
Before religion entered the Central Sulawesi region, the population still adhered to animist beliefs. A belief that assumes everything contains supernatural powers. The Kaili tribe believes in the gods karampua rilangi (ruler of the sky) and karampua nu tana (ruler of the land). They also believe in Tomanuru, which are powerful people who incarnate from heaven as incarnations of gods and believe in spirits. Nosaviraka ceremony ('Putting the baby in the cradle'), is a belief of the Kaili tribe to carry out traditional ceremonies on babies aged 3-4 days who are put in the cradle (considered the baby's home).

koleksi

Alat Penangkap Sogili

Alat tangkap tombak yang digunakan di outlet Danau Poso, Tentena, sedangkan di daerah muara Sungai Poso sampai daerah Sulewana di dominasi oleh alat tangkap bubu dan pancing. Bubu termasuk salah satu jenis perangkap yang dipasang secara tetap didalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk namun sulit keluar. Alat ini biasanya dibuat dari bahan alami, seperti bambu, kayu, atau bahan buatan lainnya seperti jaring, dan pengoperasiannya dapat memakai umpan atau tanpa umpan. Alat tangkap bubu banyak beroperasi dialiran DAS Poso dari hulu sampai hilir, terdiri dari 2 jenis yaitu terbuat dari jaring dengan mesh size 0,25 mm, lingkaran berupa kawat dengan diameter 80 cm dan terbuat dari bambu dengan panjang 200 cm dan diameter 30 cm. Bubu yang terbuat dari jaring banyak digunakan di sekitar muara Sungai Poso dengan cara diikat dengan tali di pinggir sungai dan posisi mulut bubu menghadap kelaut didiamkan selama 10 jam, yang diangkat sebanyak 2 kali. Pemasangan pertama dipasang sore hari pada jam 17.00 WITA sampai 22.00 WITA, pemasangan kedua dilakukan pada jam 22.30 WITA sampai 05.00 WITA. Hasil tangkapan bubu diperolehlah ikan sidat dari fase glas seel hingga dewasa.
Spear fishing gear used at the outlet of Lake Poso, Tentena, while in the Poso River estuary area to the Sulewana area is dominated by bubu and fishing gear. Bubu is a type of trap that is fixed in the water for a certain period of time which makes it easy for fish to enter but difficult to get out. This tool is usually made of natural materials, such as bamboo, wood, or other artificial materials such as nets, and its operation can use bait or no bait. Bubu fishing gear is widely operated in the Poso watershed from upstream to downstream, consisting of 2 types, namely made of nets with a mesh size of 0.25 mm, a circle of wire with a diameter of 80 cm and made of bamboo with a length of 200 cm and a diameter of 30 cm. Bubu made of nets are widely used around the mouth of the Poso River by tying it with a rope on the edge of the river and the position of the bubu mouth facing the sea is allowed to stand for 10 hours, which is lifted twice. The first installation was installed in the afternoon at 17.00 WITA until 22.00 WITA, the second installation was carried out at 22.30 WITA until 05.00 WITA. The catch of bubu obtained eel fish from glas seel phase to adult.

koleksi

TENUN DONGGALA

Pengaruh klasik dari motif pada kain tenun sarung Donggala masih mencari dan mempertahankan kepribadiaanya. Bentuk dan motif klasik kain sarung Donggala mengalami persamaan secara historis dengan sarung Bugis, Sulawesi Selatan. Persamaan itu banyak ditemukan dalam bentuk baju atas dan sarung tenun ikat mereka, walaupun masih tampak unsur khas Sulawesi Tengah. Selain kain sarung tenun, nama-nama alat tenunnya pun banyak yang bercampur dengan istilah-istilah bahasa Bugis.
Lamanya waktu yang digunakan dalam memproduksi satu lembar kain sarung tenun Donggala tergantung pada kurang atau padatnya urusan yang sifatnya partikularistik, seperti tugas kerumahtanggaan baik di rumah sendiri maupun di rumah kerabat yang melaksanakan upacara-upacara adat. Setelah kita memasuki rumah penenun akan nampak seorang wanita dewasa duduk diantara boko-boko dan pessa. Boko-boko adalah alat yang diletakkan di punggung penenun. Ujung kiri kanan alat ini dihubungkan dengan tali ke kiri-kanan pessa dihadapannya lalu diikat dengan tali yang kuat untuk membantu menegangkan seluruh benang lungsi atau sau dan membuat badan si penenun menjadi tegak. Dan pessa adalah alat tempat menggulung seluruh ujung benang lungsi dan tempat menggulung bagian dari hasil tenunan.
Lokasi tempat penenunan itu beragam, ada di ruang tamu, ada di ruang tengah, dan ada di sekitar dapur. Alasan pemilihan lokasi tempat penenun di ruang tengah karena dianggap enak, strategis dan lebih luas. Strategis menurut mereka karena berkaitan dengan tugas pokoknya di sekitar dapur. Sebenarnya yang dimaksud dengan ruang tengah menurut penenun adalah ruang domestik yang ada di sekitar dapur, yang pada umumnya ruang tengah itu satu lokasi dengan ruang dapur bahkan ada ruang tengah sekaligus sebagai dapur.
Dewasa ini terdapat dua alat tenun yang digunakan yaitu Gedogan dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Pada umumnya masyarakat menggunakan alat gedogan yang diterima sejak dahulu dan berupaya melestarikan industri rumah tangga ini dengan cara mewariskan peralatan dan sistem pengelolaannya.
Semua peralatan gedogan yang digunakan saat ini sulit perkirakan berapa usianya sebab peralatan tersebut masih peninggalan nenek moyangnya. Memang kalau kita lihat peralatan yang digunakan, tidak ditemukan peralatan baru yang diperoleh informasi bahwa sejak lama tidak ada upaya pembuatan peralatan baru kecuali komponen tertentu seperti sisir (salaga) dan taropo. Begitupun sistem pengelolaan secara gedogan dilakukan sebagaimana yang diajarkan oleh orang tua mereka tanpa ada perubahan apalagi upaya pengembangannya.
Ada beberapa keuntungan dari tenunan gedogan, sistem pengelolaannya sudah dipelajari dan dijadikan tradisi yang harus diterima sebagai warisan dari orang tua mereka. Sarung tenun satu-satunya produksi tenun gedogan dijadikan sebagai pakaian upacara sehingga setiap anggota keluarga harus memiliki sarung tenun Donggala walau hanya satu lembar.
Berdasarkan tehnik pembuatannya dan corak kainnya, ada enam jenis kain tenun sarung Donggala, yaitu :
1. Kain Plekat Garusu dan Buya Cura.
2. Buya Somba
3. Buya Subi
4. Buya Kombinasi Bomba dan Subi
5. Buya Bomba Kota
6. Buya Awi

The classic influence of the motif on the woven fabric of Donggala sarong is still looking for and maintaining its personality. The classic shape and motif of Donggala sarong are historically similar to Bugis sarong, South Sulawesi. The similarities are found in the form of their upper clothes and ikat woven sarongs, although there are still elements typical of Central Sulawesi. In addition to the woven sarong, the names of the looms are also mixed with Bugis language terms.
The length of time used in producing one piece of Donggala woven sarong depends on the lack or density of affairs that are particularistic in nature, such as household duties both at home and at the homes of relatives who carry out traditional ceremonies. After we enter the weaver's house, we will see an adult woman sitting between boko-boko and pessa. Boko-boko is a tool that is placed on the weaver's back. The left and right ends of this tool are connected with ropes to the left-right pessa in front of her and then tied with a strong rope to help tighten all the warp or sau threads and make the weaver's body upright. And the pessa is a device that rolls up all the ends of the warp threads and rolls up part of the weave.
The location of the weaving place varies, some in the living room, some in the middle room, and some around the kitchen. The reason for choosing the location of the weaving place in the living room is because it is considered convenient, strategic and more spacious. Strategic according to them because it is related to their main task around the kitchen. Actually, what is meant by the middle room according to the weavers is the domestic space around the kitchen, which is generally the middle room is one location with the kitchen space and there is even a middle room as well as a kitchen.
Nowadays there are two weaving tools used, namely Gedogan and Non-Machine Weaving Tools (ATBM). In general, the community uses gedogan tools that have been accepted since long ago and seeks to preserve this household industry by passing down the equipment and management system.
All gedogan equipment used today is difficult to estimate how old it is because the equipment is still a legacy of its ancestors. Indeed, if we look at the equipment used, we do not find any new equipment, and we are informed that there has been no effort to make new equipment for a long time except for certain components such as the comb (salaga) and taropo. Likewise, the gedogan management system is carried out as taught by their parents without any changes, let alone efforts to develop it.
There are several advantages of gedogan weaving, the management system has been learnt and made a tradition that must be accepted as a legacy from their parents. The only woven sarong produced by gedogan weaving is used as ceremonial clothing so that every family member must have a Donggala woven sarong even if only one sheet.
Based on the technique of making and the pattern of the fabric, there are six types of woven Donggala sarong, namely:
1.Plekat Garusu and Buya Cura fabrics.
2. Buya Bomba
3. Buya Subi
4. Buya Bomba and Subi Combination
5. Buya Bomba Kota
6. Buya Awi

koleksi

Kerajinan Kain Kulit Kayu

Tidak ada infomasi pasti tentang asal-muasal kerajinan ini. Di Kulawi misalnya, banyak orang mengatakan bahwa kerajinan pembuatan kain kulit kayu berasal dari lembah ini. Konon nenek moyang mereka mengembara untuk berburu dan mencari lokasi pertanian sembari menjajakan kain kulit kayu sampai ke Lembah Bada. Kain- kain tersebut lalu dipertukarkan dengan kerbau untuk dibawa pulang. Sementara masyarakat Lembah Bada punyak versi mitos yang lain. Konon sebelumnya kain kulit kayu tidak digunakan sebagai bahan pakaian (baju), tetapi hanya untuk menutup bagian bawah tubuh (aura) atau mereka sebut Pewe. Baru kemudian masyarakat mulai membuat Komo, semacam selimut untuk tidur. Waktu itu masyarakat belum mengenal baju. Tradisi berbaju nanti bersamaan dengan datangnya pedagang Portugis ke daerah ini. Tradisi berbaju yang diperkenalnya oleh Potugis inilah yang mengilhami masyarakat untuk membuat baju dari kain kulit kayu. Baju adat masyarakat Lembah Bada yang sangat kental dengan nuansa Portugis terlihat dari bentuk rok yang menyerupai gaun dengan renda-renda menunjukkan hal ini.
Tidak semua kayu bisa menjadi bahan dasar pembuatan kain kulit kayu. Hanya jenis-jenis kayu tertentu yang kulitnya bisa dijadikan kain kulit kayu. Setelah diidentifikasi ada sekitar 18 jenis pohon yang bisa dijadikan bahan baku, sebagian besar berasal dari jenis beringin (Ficus) dan tea (Artocarpus). Bagian kulit kayu yang dimanfaatkan dari kedua jenis pohon tersebut berasal dari dahan dan cabang dengan diameter antara 10-20 cm. Di luar beringin masyarakat juga memanfaatkan tanaman Bea/Malo (Bhroussonetia) sebagai bahan baku. Tanaman ini mirip tumbuhan perdu yang tumbuh berumpun dan berkembang biak dengan cara vegetative melalui anakan. Tumbuh dengan batang tunggal dan lurus, yang ukuran dewasanya merncapai tinggi + 3 meter dengan diameter batang mencapai + 5 cm.
Kain kulit kayu adalah jenis kain yang menyerupai kertas yang terbuat dari kulit pohon mao/malo, nunu (pohon beringin) dan kulit kayu ivo. Proses pembuatannya masih dikelola secara tradisional dan umumnya dibuat oleh kaum wanita. Pembuatannya dilakukan setelah menanam padi hingga menunggu waktu panen. Tangkai-tangkai pohon jenis beringin ini berukuran 110 – 125 cm diambil lalu dikeluarkan serat-seratnya yang terdapat antara tulang dalam dan kulit luarnya. Setelah itu di masak lalu frekmentasikan dan kemudian dipukul-pukul hingga merata dengan menggunakan batu ike. Pewarnaannya diambil dari bahan-bahan alami seperti direndam di lumpur untuk menghasilkan warna coklat dan bunga serta berbagai tumbuhan lain untuk menghasilkan warna lain maupun dalam pembuatan motifnya.
Kain kulit kayu dapat dibuat berbagai jenis pakaian, baik yang dipakai pada berbagai upacara adat maupun kehidupan keseharian. Motif yang terdapat pada kain jenis ini, seperti tanduk, tumpal, bunga, dan belah ketupat. Motif-motif ini mengandung makna keberanian, kebangsawanan, keramahtamahan, dan persatuan. Jenis-jenis kreasi yang terbuat dari kain kulit kayu, seperti ; blus (halili/kaewa), kemeja (badu tomuane), celana (vevo/puruka torongkela), destar (siga), dan rok (topi nunu/wini).

There is no exact information about the origin of this craft. In Kulawi, for example, many people say that the craft of making bark cloth originated in this valley. It is said that their ancestors wandered to hunt and search for agricultural sites while selling bark cloth to the Bada Valley. The fabrics were then exchanged for buffaloes to bring home. Meanwhile, the people of Bada Valley have another version of the myth. It is said that previously bark cloth was not used as clothing, but only to cover the lower part of the body (aura) or they called Pewe. Only later did people start making Komo, a kind of blanket for sleeping. At that time, people did not recognise clothes. The tradition of wearing clothes later coincided with the arrival of Portuguese traders to this area. The tradition of wearing clothes introduced by the Portuguese inspired the community to make clothes from bark cloth. The traditional clothes of the people of Bada Valley, which are very thick with Portuguese nuances, can be seen from the shape of the skirt that resembles a dress with lace, showing this
Not all wood can be the basic material for making bark cloth. Only certain types of wood whose bark can be made into bark cloth. After identification, there are about 18 tree species that can be used as raw materials, mostly from banyan (Ficus) and tea (Artocarpus) species. The bark utilised from these two tree species comes from branches and limbs with diameters between 10-20 cm. Outside of beringin, people also utilise the Bea/Malo (Bhroussonetia) plant as raw material. This plant is similar to shrubs that grow in clumps and reproduce by vegetative means through tillers. It grows with a single and straight trunk, whose adult size reaches a height of + 3 metres with a trunk diameter of + 5 cm.
Bark cloth is a paper-like fabric made from the bark of the mao/malo tree, nunu (banyan tree) and ivo bark. The manufacturing process is still managed traditionally and is generally made by women. The making is done after planting rice until waiting for harvest time. The stalks of this type of banyan tree measuring 110 - 125 cm are taken and then the fibres are removed between the inner bone and the outer skin. After that, it is cooked and then fractionated and then beaten evenly using an ike stone. The colouring is taken from natural materials such as soaking in mud to produce brown and flowers and various other plants to produce other colours as well as in the making of motifs.
Bark cloth can be made into various types of clothing, both for traditional ceremonies and daily life. Motifs found on this type of cloth include horns, tumpal, flowers and rhombuses. These motifs signify courage, nobility, hospitality and unity. The types of creations made from bark cloth include blouses (halili/kaewa), shirts (badu tomuane), pants (vevo/puruka torongkela), destars (siga) and skirts (topi nunu/wini).