Tidak ada infomasi pasti tentang asal-muasal kerajinan ini. Di Kulawi misalnya, banyak orang mengatakan bahwa kerajinan pembuatan kain kulit kayu berasal dari lembah ini. Konon nenek moyang mereka mengembara untuk berburu dan mencari lokasi pertanian sembari menjajakan kain kulit kayu sampai ke Lembah Bada. Kain- kain tersebut lalu dipertukarkan dengan kerbau untuk dibawa pulang. Sementara masyarakat Lembah Bada punyak versi mitos yang lain. Konon sebelumnya kain kulit kayu tidak digunakan sebagai bahan pakaian (baju), tetapi hanya untuk menutup bagian bawah tubuh (aura) atau mereka sebut Pewe. Baru kemudian masyarakat mulai membuat Komo, semacam selimut untuk tidur. Waktu itu masyarakat belum mengenal baju. Tradisi berbaju nanti bersamaan dengan datangnya pedagang Portugis ke daerah ini. Tradisi berbaju yang diperkenalnya oleh Potugis inilah yang mengilhami masyarakat untuk membuat baju dari kain kulit kayu. Baju adat masyarakat Lembah Bada yang sangat kental dengan nuansa Portugis terlihat dari bentuk rok yang menyerupai gaun dengan renda-renda menunjukkan hal ini.
Tidak semua kayu bisa menjadi bahan dasar pembuatan kain kulit kayu. Hanya jenis-jenis kayu tertentu yang kulitnya bisa dijadikan kain kulit kayu. Setelah diidentifikasi ada sekitar 18 jenis pohon yang bisa dijadikan bahan baku, sebagian besar berasal dari jenis beringin (Ficus) dan tea (Artocarpus). Bagian kulit kayu yang dimanfaatkan dari kedua jenis pohon tersebut berasal dari dahan dan cabang dengan diameter antara 10-20 cm. Di luar beringin masyarakat juga memanfaatkan tanaman Bea/Malo (Bhroussonetia) sebagai bahan baku. Tanaman ini mirip tumbuhan perdu yang tumbuh berumpun dan berkembang biak dengan cara vegetative melalui anakan. Tumbuh dengan batang tunggal dan lurus, yang ukuran dewasanya merncapai tinggi + 3 meter dengan diameter batang mencapai + 5 cm.
Kain kulit kayu adalah jenis kain yang menyerupai kertas yang terbuat dari kulit pohon mao/malo, nunu (pohon beringin) dan kulit kayu ivo. Proses pembuatannya masih dikelola secara tradisional dan umumnya dibuat oleh kaum wanita. Pembuatannya dilakukan setelah menanam padi hingga menunggu waktu panen. Tangkai-tangkai pohon jenis beringin ini berukuran 110 – 125 cm diambil lalu dikeluarkan serat-seratnya yang terdapat antara tulang dalam dan kulit luarnya. Setelah itu di masak lalu frekmentasikan dan kemudian dipukul-pukul hingga merata dengan menggunakan batu ike. Pewarnaannya diambil dari bahan-bahan alami seperti direndam di lumpur untuk menghasilkan warna coklat dan bunga serta berbagai tumbuhan lain untuk menghasilkan warna lain maupun dalam pembuatan motifnya.
Kain kulit kayu dapat dibuat berbagai jenis pakaian, baik yang dipakai pada berbagai upacara adat maupun kehidupan keseharian. Motif yang terdapat pada kain jenis ini, seperti tanduk, tumpal, bunga, dan belah ketupat. Motif-motif ini mengandung makna keberanian, kebangsawanan, keramahtamahan, dan persatuan. Jenis-jenis kreasi yang terbuat dari kain kulit kayu, seperti ; blus (halili/kaewa), kemeja (badu tomuane), celana (vevo/puruka torongkela), destar (siga), dan rok (topi nunu/wini).
There is no exact information about the origin of this craft. In Kulawi, for example, many people say that the craft of making bark cloth originated in this valley. It is said that their ancestors wandered to hunt and search for agricultural sites while selling bark cloth to the Bada Valley. The fabrics were then exchanged for buffaloes to bring home. Meanwhile, the people of Bada Valley have another version of the myth. It is said that previously bark cloth was not used as clothing, but only to cover the lower part of the body (aura) or they called Pewe. Only later did people start making Komo, a kind of blanket for sleeping. At that time, people did not recognise clothes. The tradition of wearing clothes later coincided with the arrival of Portuguese traders to this area. The tradition of wearing clothes introduced by the Portuguese inspired the community to make clothes from bark cloth. The traditional clothes of the people of Bada Valley, which are very thick with Portuguese nuances, can be seen from the shape of the skirt that resembles a dress with lace, showing this
Not all wood can be the basic material for making bark cloth. Only certain types of wood whose bark can be made into bark cloth. After identification, there are about 18 tree species that can be used as raw materials, mostly from banyan (Ficus) and tea (Artocarpus) species. The bark utilised from these two tree species comes from branches and limbs with diameters between 10-20 cm. Outside of beringin, people also utilise the Bea/Malo (Bhroussonetia) plant as raw material. This plant is similar to shrubs that grow in clumps and reproduce by vegetative means through tillers. It grows with a single and straight trunk, whose adult size reaches a height of + 3 metres with a trunk diameter of + 5 cm.
Bark cloth is a paper-like fabric made from the bark of the mao/malo tree, nunu (banyan tree) and ivo bark. The manufacturing process is still managed traditionally and is generally made by women. The making is done after planting rice until waiting for harvest time. The stalks of this type of banyan tree measuring 110 - 125 cm are taken and then the fibres are removed between the inner bone and the outer skin. After that, it is cooked and then fractionated and then beaten evenly using an ike stone. The colouring is taken from natural materials such as soaking in mud to produce brown and flowers and various other plants to produce other colours as well as in the making of motifs.
Bark cloth can be made into various types of clothing, both for traditional ceremonies and daily life. Motifs found on this type of cloth include horns, tumpal, flowers and rhombuses. These motifs signify courage, nobility, hospitality and unity. The types of creations made from bark cloth include blouses (halili/kaewa), shirts (badu tomuane), pants (vevo/puruka torongkela), destars (siga) and skirts (topi nunu/wini)..